-
Politika Research Consulting

Politika Research and Consulting

“Commitment to Excellence. Elevating the Democracy”

Penghapusan Presidential Threshold: Apa Berikutnya?

January 7, 2025 Web admin 1

Keputusan Mahkamah Konstitusi menyetujui permohonan gugatan penghapusan Presidential Threshold pencalonan Presiden dan Wakil presiden membawa angin segar. Keputusan tersebut membuka kesempatan yang lebih luas kepada warga negara untuk maju sebagai calon presiden dan wakil presiden. Proses pencalonan presiden dan wakil presiden akan menjadi semakin inklusif.

 

Selain memberikan angin segar, penghapusan ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden juga sekaligus memberikan tantangan. Proses filterisasi kandidat perlu dilakukan dengan baik supaya penghapusan presidential Threshold tidak berakhir sebagai “pasar bebas pencapresan”.

 

Perlu diingat bahwa perjuangan penghapusan presidential threshold juga ingin bermuara pada sosok calon pemimpin yang berkualitas dan merepresentasikan kepentingan publik.

 

Hanna Fenichel Pitkin telah menancapkan tonggak tentang representasi politik. Gambaran skematik dari Pitkin adalah representasi formalistik. Representasi formalistik menekankan cara untuk memperoleh posisi, jabatan, dan kedudukan (otorisasi) serta kemampuan untuk menghukum wakil mereka yang gagal bertindak sesuai dengan kebutuhan konstituen (akuntabilitas).

 

Dengan demikian, tugas berat bangsa ini adalah memastikan proses menuju kursi presiden dan wakil presiden melalui proses yang baik. Sehingga calon yang ditawarkan kepada masyarakat memiliki jiwa leadership dan mampu bertindak untuk kepentingan rakyat.

 

Berikutnya tentang proses penghukuman pejabat publik yang tidak berhasil bertindak sesuai kebutuhan rakyat. Dalam konteks Indonesia, proses penghukuman terhadap pejabat publik sulit untuk menemukan cara terbaiknya. Mekanisme penghukuman terhadap pejabat publik saat ini hanya dapat dilakukan dengan “tidak memilihnya kembali”. Sehingga proses penentuan bakal calon menjadi penting untuk memastikan bahwa para kandidat memiliki kualifikasi yang baik.

 

Dalam hal ini, partai politik memiliki posisi yang sangat strategis untuk menjalankan mekanisme tersebut. Partai politik telah diamanahkan oleh negara melalui UUD 1945 untuk mengusulkan pasangan calon presiden dan wakil presiden. Untuk itu perbaikan di internal partai politik, khususnya dalam proses pengusulan calon presiden dan wakil presiden adalah agenda berikutnya yang harus segera dilakukan.

 

Perbaikan Institusi Partai Politik oleh Negara

 

Partai politik memiliki peranan yang sangat penting dalam demokrasi. Richard S. Katz secara implisit menyampaikan bahwa membangun sistem pemerintahan yang demokratis tanpa partai politik adalah hal yang sulit. Hal tersebut tersirat ketika ia menyampaikan ”modern democracy is party democracy”.

 

Selama ini proses pengusulan bakal calon presiden dan wakil presiden belum cukup ideal dilakukan oleh partai politik. Praktik yang terjadi memberikan kesan bahwa partai lebih cenderung mempertimbangkan power interest dibandingkan democratic value dalam proses penentuan bakal calon presiden dan wakil presiden. Peran masyarakat sipil sangat minim dalam proses penentuan bakal calon presiden dan wakil presiden.

 

Dengan demikian perbaikan institusi partai menjadi agenda wajib yang harus segera dilakukan. Jika mengacu pada argument March dan Olsen, institusi bukan hanya berkaitan dengan institusi keras (organisasi negara dan non-negara), namun juga institusi lunak (aturan, norma, nilai, dan prosedur).

 

Melihat gejala yang terjadi di dalam partai politik, partai politik harus segera memperbaiki internal dan kembali merumuskan platform perjuangannya. Selain itu, partai politik harus segera memperbaiki cara dan pola perekrutan bakal calon presiden dan wakil presiden. Namun juga tidak meninggalkan agenda penting lain seperti pola rekrutmen kader, pembinaan dan pengembangan kapasitas kader, pengusulan calon pejabat publik, dan tentunya suksesi kepemimpinan untuk menjaga sirkulasi elit di tubuh partai politik.

 

Untuk menjamin proses perbaikan institusi partai politik khususnya dalam proses demokratisasi internal, Thomas Meyer menawarkan alternatif kehadiran negara dengan membuat seperangkat aturan (undang-undang) untuk menjaga agar agenda tersebut dapat berjalan dengan baik. Adanya peraturan perundang-undangan akan membuat proses demokratisasi internal partai - termasuk di dalamnya proses rekrutmen bakal calon presiden dan wakil presiden – tidak hanya bergantung pada kemauan baik (goodwill) dari elit partai. Namun, menjadi kewajiban konstitusional yang harus dijalankan oleh partai politik.

 

Indonesia sebenarnya sudah memiliki undang-undang partai politik yaitu UU No. 2 Tahun 2011. Pada pasal 12 huruf (b) negara telah memberikan wewenang kepada partai politik secara mandiri untuk mengurus dan mengatur rumah tangga organisasi. Namun, jangan lupa bahwa pada pasal 27 di undang-undang yang sama, setiap pengambilan keputusan yang dilakukan oleh partai politik harus dilakukan secara demokratis.

 

Pasal-pasal dalam undang-undang tersebut ternyata belum cukup. Kata demokratis yang termaktub di undang-undang tersebut pun dapat dimaknai beragam oleh para aktor politik. Dampaknya hingga saat ini partai politik tetap kurang transparan dalam proses pengusulan calon presiden dan wakil presiden. Misalnya berkaitan dengan proses uji kelayakan bakal calon presiden dan wakil presiden.

 

Sejak awal pemilihan presiden secara langsung pada tahun 2004, proses demokratis dalam proses uji kelayakan calon oleh partai politik sudah pernah dilakukan. Namun, tidak ada konsistensi dalam menjalankannya. Penyebabnya tentu birahi untuk terus berkuasa yang mengalahkan luhurnya democratic value.

 

Pada tahun 2004, Golkar pernah memberikan contoh proses menentukan bakal calon presiden yang diusung dengan menggunakan sistem konvensi. Ketika itu Wiranto keluar sebagai pemenang dan berhak untuk maju sebagai capres dari partai Golkar. Wiranto maju sebagai calon presiden berpasangan dengan Salahuddin Wahid.

 

Sepuluh tahun kemudian pada tahun 2014, Partai Demokrat juga melakukan konvensi untuk menentukan bakal calon presiden. Ketika itu muncul banyak nama diantaranya Dahlan Iskan, Anies Baswedan, dan Gita Wirjawan. Dahlan Iskan terpilih sebagai pemenang, namun gagal maju sebagai calon presiden. Ketika itu elit Demokrat menyampaikan alasannya adalah presidential threshold dan rekan koalisi yang tidak seirama.

 

Menjelang pilpres 2024, Partai NasDem memberi berita segar dengan rencana konvensi untuk menentukan bakal calon presiden. Namun, rencana itu gagal dikarenakan partai politik lain sudah mematok bahwa ketua umum partai lah yang harus maju sebagai calon presiden.

 

Jejak sejarah itu sebenarnya ada, namun goodwill para elit politik sejauh ini masih belum nampak. Hemat penulis, negara harus hadir dengan membentuk aturan perundang-undangan yang “memaksa” partai politik untuk melakukan proses demokratisasi internal. Khususnya dalam proses pengusulan bakal calon presiden dan wakil presiden.

Chat with Us